AGAR TAJDID (PEMBAHARUAN) TIDAK BERUBAH MENJADI TABDID (KESEWEWENANG-WENANGAN)
AGAR TAJDID (PEMBAHARUAN) TIDAK BERUBAH MENJADI TABDID (KESEWEWENANG-WENANGAN)
Islam adalah agama yang Allah swt pilihkan untuk manusia, yang memberi petunjuk menuju shirat mustaqim (jalan yang lurus). Baginda Rasul saw kita merupakan nabi terakhir, Allah pilih demi menyempurnakan agama. Untuk menyampaikan kepada sekalian makhluk-Nya apa yang diinginkan oleh Tuhan Alam Semesta. Sebagaimana dalam Kitab-Nya yang tidak akan dihinggapi oleh kebatilan baik dari masa lalu maupun yang akan datang:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Surat al-Ma'idah 3
Sementara syariat Islam, dengan lima maqashid kulliy (misi utama)-nya datang bertujuan menjaga keberlangsungan kelima maqashid syariah pada manusia, merupakan sebuah syariat yang luwes, menghimpun dua macam hukum:
1. Hukum yang tetap, tak berubah selamanya. Jumlahnya sedikit sekali, hampir terangkum dalam rukun Islam yang terkandung dalam sabda Nabi saw:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ والَحَجُّ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun di atas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan." [Muttafaq 'Alaih]
Selain rukun Islam, ada pula muharramat (hal-hal yang diharamkan) yang termasuk dalam hukum kategori ini. Seperti membunuh, zina, qadzaf, mencuri, minum khamr, berbuat kerusakan di muka bumi (terorisme), memakan harta orang dengan cara yang batil, dan sebagainya.
2. Hukum yang berubah-ubah, yang memperkenankan ijtihad di dalamnya. Fatwa-fatwa dalam hukum tersebut berubah karena perbedaan dalam empat aspek: Waktu, Tempat, Pelaku, dan Keadaan. Sesuatu yang cocok dengan penduduk di daerah tertentu boleh jadi berat bagi orang-orang di daerah lainnya walau pada zaman yang sama. Dan hukum yang sesuai dengan sebuah zaman terkadang tak sesuai dengan zaman lainnya meski di satu tempat yang sama.
Oleh karena itu, tidak boleh bagi siapapun mengemban kedudukan yang tinggi ini tanpa ilmu, pelatihan, keahlian, pengalaman, serta pengetahuan akan keadaan dan kebiasaan manusia, juga situasi yang melingkupi mereka.
Imam al-Qarafi pernah berkata dalam nasihatnya kepada mufti:
"Apapun urf (kebiasaan) baru yang berkembang, perhitungkanlah. 'Urf yang hilang, tinggalkan. Jangan kaku pada hal-hal yang telah tertulis dalam kitab-kitab sepanjang umurmu. Tapi jika datang kepadamu seseorang yang bukan penduduk daerahmu meminta fatwa, jangan menstandarkannya dengan 'urf negerimu. Tanya padanya tentang kebiasaan di negerinya dan ikuti standarnya. Beri ia fatwa sesuai 'urf daerahnya, bukan 'urf daerahmu atau yang ditetapkan di kitab-kitabmu. Inilah kebenaran yang jelas. Jumud/statis pada teks-teks yang dinukilkan selamanya merupakan bentuk kesesatan dalam agama, bukti kebodohan akan maqashid ulama muslimin dan salaf terdahulu."
Atas dasar inilah, ijtihad yang dilakukan oleh para ulama yang memiliki kemampuan merupakan sebuah keharusan. Sesuatu yang erat sekali kaitannya dengan syariat kita. Agar syariat ini tetap relevan di setiap zaman dan tempat, juga dapat mewujudkan kebutuhan manusia bagaimananpun perkembangan masa, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan mereka.
Dari sana diketahui bahwa gagasan tajdid (pembaharuan) bukan produk yang baru lahir di zaman sekarang kita hidup. Sesungguhnya gagasan tajdid ini berkaitan erat dengan syariat Islam sepanjang zaman. Nabi saw bersabda:
ْإِنَّ اللهَ عَزَّ وجَلَّ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِئَةِ سَنَةٍ مَن يُجِدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
Sungguh Allah Azza wa Jalla mengutus"
kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang memperbarui agama-Nya pada masa itu." [H.R. Abu Dawud dalam Sunan-nya No. 4291]
Nabi saw juga telah menetapkan metode berijtihad dalam mengambil istinbath/kesimpulan hukum-hukum. Ketika beliau saw mengutus Sayyiduna Muadz bin Jabal ra ke Yaman, beliau bertanya pada Muadz, "Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah dengan sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah." [H.R. Ahmad dalam Musnad-nya, No.22007]
Terdapat beberapa bentuk tajdid yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Ada yang terjadi di periode awal Islam, bahkan saat Nabi saw masih hidup:
1. Seperti dalam kasus pengharaman khamr dan riba, dimana hukum-hukum pada keduanya keluar secara bertahap, mulai dari yang paling ringan hingga yang berat kemudian yang terberat. Berakhir pada pengharaman secara final, yang mana inilah yang diinginkan sesungguhnya. Setelah orang-orang siap menanggungnya dan menaatinya secara bertahap, yang mana selaras dengan tabiat manusia.
2. Begitu pula dalam pelarangan kodifikasi Sunnah Nabi saw pada awalnya, kemudian dibolehkan mengumpulkan dan menuliskannya.
3. Dalam larangan ziarah kubur, kemudian seruan untuk menziarahinya untuk mengingatkan kepada akhirat.
4. Masalah bolehnya sedikit berbicara di tengah shalat, kemudian dilaranglah semua bacaan, takbir, dan tasbih yang bukan bagian dari aktivitas shalat.
5. Juga merupakan bentuk tajdid di masa Nabi ialah perpindahan kiblat dari menghadap al-Aqsha ke Ka'bah yang mulia. Dan lain-lain.
Dan nash hukum dalam syariat, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, keduanya mengandung dua macam hukum yang telah disebutkan di atas: yang paten dan yang berubah-ubah.
Di antara hukum-hukum yang sifatnya tetap dalam nash Qur'an, ialah hukum yang terkandung dalam rukun Islam, juga ayat mawarist, ayat thalaq, ayat tahrim (pengharaman terhadap sesuatu), dan ayat-ayat lainnya.
Sedangkan hukum yang menerima ijtihad dan ikhtilaf (perbedaan) pendapat antara ahli tafsir dan fiqih sebagai kemudahan bagi para mukallaf.
Salah satu contohnya yaitu firman Allah swt dalam ayat wudhu:
ْوَامْسَحُوا بِرُؤُوْسِكُم
"Usaplah kepala kalian,"
Masuknya huruf ba' (ب) di awal kata برؤوسكم , yang menurut ahli bahasa memiliki dua kemungkinan pemaknaan, bisa hanya dianggap "tambahan" dari segi makna dan tak memiliki makna apapun, namun bisa jadi memiliki 'amil dalam men-jarr-kan kata setelahnya dan memberi makna tab'idh (sebagian).
Adanya dua kemungkinan pemaknaan di atas membuat para fuqaha' berselisih dalam penentutan bagian kepala yang harus diusap. Sebagian berkata mesti mengusap seluruh kepala dengan dasar memaknai huruf ba'(ب) tambahan belaka, sedangkan sebagian yang lain berpendapat boleh hanya mengusap sebagian kepala dengan menganggap huruf ba' (ب) bermakna "sebagian".
Contoh lain, dalam masalah jumlah talak:
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓء
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'."
Lafadz quru' (قروء) sendiri secara bahasa memang memiliki dua makna sekaligus (dan keduanya bertentangan), yaitu "haid" dan "suci". Karenanya sebagian fuqaha' mengambil makna "haid", sebagian lain memilih makna "suci". Dari sana lah sumber perbedaan dalam berapa lama masa iddah bagi seorang wanita yang tertalak (tidak ditinggal mati).
Sehingga tajdid (perbaharuan) merupakan sebuah keharusan baik karena tuntutan syariat atau realita kehidupan.
Namun, membuka pintu ijtihad di kedua sisi tersebut bagi siapapun yang mau melakukannya, justru mengeluarkan ijtihadnya itu, dari ranah tajdid yang wajib secara syariat dan akal, malah terjerumus ke dalam tabdid (keserampangan dalam memahami nash) yang terlarang oleh syariat dan akal.
Seseorang yang masuk dalam daerah ijtihad namun tak memiliki alat kelengkapan untuk berijtihad dan tak tahu dimana saja tempat-tempat yang diizinkan berijtihad di sana, pasti tidak mungkin membedakan antara hukum yang tsabit (paten) dan mutaghayyir (berubah-ubah). Bisa jadi ia sampai meruntuhkan hukum agama yang paten, dan inilah perilaku yang dapat disebut dengan "meruntuhkan agama dari pondasinya".
Untuk itu, pekerjaan tajdid wajib dibolehkan terbatas bagi orang-orang yang rasikh fi al-'ilm (mendalam keilmuannya) yang berkompeten, harus obyektif, terbebas dari fanatisme, hawa nafsu, dan kecenderungan pribadi.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^